Kisah Padi Meratus

Jika kita mendengar kata Kalimantan, pasti pikiran kita langsung terasosiasi dengan Suku Dayak. Ternyata, Suku Dayak pun banyak ragamnya. Di Kalimantan Selatan, nama yang familiar dikenal adalah Dayak Meratus. Kehidupan Dayak Meratus sangat dekat dengan padi. Yuk, simak ulasan campatour.com tentang padi dan Dayak Meratus.

Padi sebagai Sumber Kehidupan

Bagi masyarakat Dayak Meratus, hutan merupakan sumber kehidupan mereka. Masyarakat Dayak Deah di Kabupaten Tabalong juga memanfaatkan hutan di Pegunungan Meratus sebagai sumber kehidupan.

Mereka membuka hutan untuk dijadikan ladang kemudian menjadi kebun karet ataupun kebun kayu manis dan kemiri. Sekitar 15-20 tahun kemudian mereka kembali menjadikannya sebagai lahan padi. Akan tetapi di Hananai ataupun di Pinai, Kabupaten Banjar, yang warganya memilih menambang emas, mereka membiarkan huma setelah panen padi dipenuhi semak-semak. Mereka menanam padi di huma baru dan baru kembali ke huma semula tiga tahun kemudian.

Ladang Huma
Huma adalah sebutan untuk ladang, tempat masyarakat Dayak Meratus menanam padi. Ladang ini kering, tidak basah seperti sawah. Untuk membuat ladang yang baik, masyarakat Dayak Meratus biasanya membakar dahulu huma tersebut. Kita dapat menemukan huma di berbagai tempat, di tengah-tengah hutan pegunungan Meratus. Ladang ini adalah ladang yang terletak di Desa Haratai. (Fitri Utami/Campa Tour)

Satu hektar huma, menurut Ruwai, mantan Kepala Desa Patikalaen, Hantakan, dapat menghasilkan padi 800-1.000 gantang. Satu gantang sebanyak lima liter. Padi itu akan disimpan di lulung (wadah terbuat dari kayu kulit damar). Ada banyak lulung di dalam lumbung yang dimiliki setiap keluarga Dayak Meratus. “Bisa tahan 15 tahun,” ujar Ruwai.

Mereka panen padi setahun sekali. Umur padi adalah enam bulan. Mereka membutuhkan waktu 2-3 bulan untuk mengolah lahan, 1-2 bulan menunggu musim tanam, dan 1-3 bulan untuk masa panen. Praktis, mereka membutuhkan 12 bulan untuk mengolah padi.

Akan tetapi, mereka tidak menjual padi. Mereka memiliki stok pangan yang cukup untuk beberapa tahun. “Kami di gunung, jauh dari mana-mana, kalau kami menjual padi, dan terjadi kemarau panjang sehingga kami tidak dapat tanam padi, kami makan apa nanti?” ujar Galimun, tetua adat Dayak Meratus Kecamatan Hantakan.

Duntin dan Paliansyah (Ketua Balai Adat Tamburasak dan Bendahara Balai Adat Tamburasak) menyebut ada 26 jenis padi yang ditanam di Pegunungan Meratus. Tim ekspedisi menemukan dua jenis lagi di desa lain sehingga terhitung sedikitnya ada 28 varietas padi. Benih padi mereka siapkan dari hasil panen, biasanya banih sibuyung dan banih aria. “Dipilih yang terbagus, lalu disimpan di tempat khusus,” ujar Hadri, warga Tamburasak.

Padi dari Langit

Di zaman dahulu, kata Duntin, padi merupakan tanaman langit. Penghuni langit adalah delapan laki-laki bersaudara, penghuni bumi delapan perempuan bersaudara. Padi langit ditanam pagi dan sore dapat dipanen. Buahnya sebesar gantang dengan volume mencapai lima liter. Penghuni langit memerlukan seribu gantang untuk menakarnya dan 10 ribu balihung (bakul) untuk menyimpannya.

Penduduk desa Haratai
Tampak dua penduduk Desa Haratai di pegunungan Meratus sedang membuat balihung. Balihung adalah bakul dari anyaman. Seorang ibu senang hati tersenyum ketika akan difoto. Sedangkan seorang ibu lagi malu-malu ketika akan difoto, sehingga menutupi wajahnya dengan balihung. Masyarakat Dayak Meratus biasa menggunakan balihung dalam berbagai aktivitas keseharian mereka; fungsinya sama seperti tas punggung. (Fitri Utami/Campa Tour)

Mereka kesulitan mengonsumsinya sehingga atas petunjuk Hyang Bawanang (Yang Berwenang, Yang Mahasuci), buah padi itu diasapi dengan dupa selama tujuh hari tujuh malam sehingga memecah menjadi seukuran padi sekarang.

Ketika di bumi terjadi paceklik, umbi susah ditemukan di berbagai penjuru bumi, penghuni bumi meminta padi ke langit. Dara Kebungsuan berhasil membawa padi ke bumi dengan menyembunyikannya di rahimnya selama sembilan bulan sembilan hari. Saat ditanam di bumi, buahnya dari langit terlihat berkilau seperti emas. Akan tetapi, tidak selamanya berkilau karena sudah tidak suci (wanang) lagi. Di langit, padi tetap suci karena selalu ada langgatan yang menggantung di langit.

Untuk menyucikan padi di bumi diadakan upacara aruh bawanang. Langgatan ditancapkan di tanah (disebut lalaya). Kini di upacara aruh di Meratus, ada yang memakai lalaya yang diletakkan di lantai balai adat, ada pula yang memakai langgatan yang digantung di langit-langit balai. Hingga kini untuk menghitung hasil panen padi, masyarakat Dayak Meratus memakai ukuran gantang. Sehektar huma menghasilkan 800-1.000 gantang (4.000 liter-5.000 liter) padi.

Foto Balai Aruh
Upacara aruh biasa diadakan di Balai Adat. Aruh memiliki banyak macam dan nama. Sesajian biasa diletakkan di bangunan tengah-tengah balai adat (tawing), atau dapat juga di pelataran. Tampak peserta Campa Tour sedang berbincang dengan Kepala Adat Malaris. Balai Adat Malaris yang terletak di Desa Loklahung adalah Balai Adat yang terbesar di pegunungan Meratus. (Fitri Utami/Campa Tour)

Jika padi pantang dijual, getah karet, kayu manis, kemiri, atau tambang emaslah sumber keuangan mereka. Sekali-dua kali ditanami padi, huma kemudian menjadi sumber uang setelah ditanami karet atau kayu manis atau kemiri. Harga getah karet pernah mencapai Rp 15.000 per kilogram.

Sumber:

Kopassus. (2012). Ekspedisi Khatulistiwa 2012: Peduli dan Lestarikan Alam Indonesia. Jakarta: Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Tidak diterbitkan.[:ID]Jika kita mendengar kata Kalimantan, pasti pikiran kita langsung terasosiasi dengan Suku Dayak. Ternyata, Suku Dayak pun banyak ragamnya. Di Kalimantan Selatan, nama yang familiar dikenal adalah Dayak Meratus. Kehidupan Dayak Meratus sangat dekat dengan padi. Yuk, simak ulasan Campa Tour tentang padi dan Dayak Meratus.

Padi sebagai Sumber Kehidupan

Bagi masyarakat Dayak Meratus, hutan merupakan sumber kehidupan mereka. Masyarakat Dayak Deah di Kabupaten Tabalong juga memanfaatkan hutan di Pegunungan Meratus sebagai sumber kehidupan.

Mereka membuka hutan untuk dijadikan ladang kemudian menjadi kebun karet ataupun kebun kayu manis dan kemiri. Sekitar 15-20 tahun kemudian mereka kembali menjadikannya sebagai lahan padi. Akan tetapi di Hananai ataupun di Pinai, Kabupaten Banjar, yang warganya memilih menambang emas, mereka membiarkan huma setelah panen padi dipenuhi semak-semak. Mereka menanam padi di huma baru dan baru kembali ke huma semula tiga tahun kemudian.

Ladang Huma
Huma adalah sebutan untuk ladang, tempat masyarakat Dayak Meratus menanam padi. Ladang ini kering, tidak basah seperti sawah. Untuk membuat ladang yang baik, masyarakat Dayak Meratus biasanya membakar dahulu huma tersebut. Kita dapat menemukan huma di berbagai tempat, di tengah-tengah hutan pegunungan Meratus. Ladang ini adalah ladang yang terletak di Desa Haratai. (Fitri Utami/Campa Tour)

Satu hektar huma, menurut Ruwai, mantan Kepala Desa Patikalaen, Hantakan, dapat menghasilkan padi 800-1.000 gantang. Satu gantang sebanyak lima liter. Padi itu akan disimpan di lulung (wadah terbuat dari kayu kulit damar). Ada banyak lulung di dalam lumbung yang dimiliki setiap keluarga Dayak Meratus. “Bisa tahan 15 tahun,” ujar Ruwai.

Mereka panen padi setahun sekali. Umur padi adalah enam bulan. Mereka membutuhkan waktu 2-3 bulan untuk mengolah lahan, 1-2 bulan menunggu musim tanam, dan 1-3 bulan untuk masa panen. Praktis, mereka membutuhkan 12 bulan untuk mengolah padi.

Akan tetapi, mereka tidak menjual padi. Mereka memiliki stok pangan yang cukup untuk beberapa tahun. “Kami di gunung, jauh dari mana-mana, kalau kami menjual padi, dan terjadi kemarau panjang sehingga kami tidak dapat tanam padi, kami makan apa nanti?” ujar Galimun, tetua adat Dayak Meratus Kecamatan Hantakan.

Duntin dan Paliansyah (Ketua Balai Adat Tamburasak dan Bendahara Balai Adat Tamburasak) menyebut ada 26 jenis padi yang ditanam di Pegunungan Meratus. Tim ekspedisi menemukan dua jenis lagi di desa lain sehingga terhitung sedikitnya ada 28 varietas padi. Benih padi mereka siapkan dari hasil panen, biasanya banih sibuyung dan banih aria. “Dipilih yang terbagus, lalu disimpan di tempat khusus,” ujar Hadri, warga Tamburasak.

Padi dari Langit

Di zaman dahulu, kata Duntin, padi merupakan tanaman langit. Penghuni langit adalah delapan laki-laki bersaudara, penghuni bumi delapan perempuan bersaudara. Padi langit ditanam pagi dan sore dapat dipanen. Buahnya sebesar gantang dengan volume mencapai lima liter. Penghuni langit memerlukan seribu gantang untuk menakarnya dan 10 ribu balihung (bakul) untuk menyimpannya.

Penduduk desa Haratai
Tampak dua penduduk Desa Haratai di pegunungan Meratus sedang membuat balihung. Balihung adalah bakul dari anyaman. Seorang ibu senang hati tersenyum ketika akan difoto. Sedangkan seorang ibu lagi malu-malu ketika akan difoto, sehingga menutupi wajahnya dengan balihung. Masyarakat Dayak Meratus biasa menggunakan balihung dalam berbagai aktivitas keseharian mereka; fungsinya sama seperti tas punggung. (Fitri Utami/Campa Tour)

Mereka kesulitan mengonsumsinya sehingga atas petunjuk Hyang Bawanang (Yang Berwenang, Yang Mahasuci), buah padi itu diasapi dengan dupa selama tujuh hari tujuh malam sehingga memecah menjadi seukuran padi sekarang.

Ketika di bumi terjadi paceklik, umbi susah ditemukan di berbagai penjuru bumi, penghuni bumi meminta padi ke langit. Dara Kebungsuan berhasil membawa padi ke bumi dengan menyembunyikannya di rahimnya selama sembilan bulan sembilan hari. Saat ditanam di bumi, buahnya dari langit terlihat berkilau seperti emas. Akan tetapi, tidak selamanya berkilau karena sudah tidak suci (wanang) lagi. Di langit, padi tetap suci karena selalu ada langgatan yang menggantung di langit.

Untuk menyucikan padi di bumi diadakan upacara aruh bawanang. Langgatan ditancapkan di tanah (disebut lalaya). Kini di upacara aruh di Meratus, ada yang memakai lalaya yang diletakkan di lantai balai adat, ada pula yang memakai langgatan yang digantung di langit-langit balai. Hingga kini untuk menghitung hasil panen padi, masyarakat Dayak Meratus memakai ukuran gantang. Sehektar huma menghasilkan 800-1.000 gantang (4.000 liter-5.000 liter) padi.

Foto Balai Aruh
Upacara aruh biasa diadakan di Balai Adat. Aruh memiliki banyak macam dan nama. Sesajian biasa diletakkan di bangunan tengah-tengah balai adat (tawing), atau dapat juga di pelataran. Tampak peserta Campa Tour sedang berbincang dengan Kepala Adat Malaris. Balai Adat Malaris yang terletak di Desa Loklahung adalah Balai Adat yang terbesar di pegunungan Meratus. (Fitri Utami/Campa Tour)

Jika padi pantang dijual, getah karet, kayu manis, kemiri, atau tambang emaslah sumber keuangan mereka. Sekali-dua kali ditanami padi, huma kemudian menjadi sumber uang setelah ditanami karet atau kayu manis atau kemiri. Harga getah karet pernah mencapai Rp 15.000 per kilogram.

Sumber:

Kopassus. (2012). Ekspedisi Khatulistiwa 2012: Peduli dan Lestarikan Alam Indonesia. Jakarta: Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Tidak diterbitkan.[:IN]Jika kita mendengar kata Kalimantan, pasti pikiran kita langsung terasosiasi dengan Suku Dayak. Ternyata, Suku Dayak pun banyak ragamnya. Di Kalimantan Selatan, nama yang familiar dikenal adalah Dayak Meratus. Kehidupan Dayak Meratus sangat dekat dengan padi. Yuk, simak ulasan Campa Tour tentang padi dan Dayak Meratus.

Padi sebagai Sumber Kehidupan

Bagi masyarakat Dayak Meratus, hutan merupakan sumber kehidupan mereka. Masyarakat Dayak Deah di Kabupaten Tabalong juga memanfaatkan hutan di Pegunungan Meratus sebagai sumber kehidupan.

Mereka membuka hutan untuk dijadikan ladang kemudian menjadi kebun karet ataupun kebun kayu manis dan kemiri. Sekitar 15-20 tahun kemudian mereka kembali menjadikannya sebagai lahan padi. Akan tetapi di Hananai ataupun di Pinai, Kabupaten Banjar, yang warganya memilih menambang emas, mereka membiarkan huma setelah panen padi dipenuhi semak-semak. Mereka menanam padi di huma baru dan baru kembali ke huma semula tiga tahun kemudian.

Ladang Huma
Huma adalah sebutan untuk ladang, tempat masyarakat Dayak Meratus menanam padi. Ladang ini kering, tidak basah seperti sawah. Untuk membuat ladang yang baik, masyarakat Dayak Meratus biasanya membakar dahulu huma tersebut. Kita dapat menemukan huma di berbagai tempat, di tengah-tengah hutan pegunungan Meratus. Ladang ini adalah ladang yang terletak di Desa Haratai. (Fitri Utami/Campa Tour)

Satu hektar huma, menurut Ruwai, mantan Kepala Desa Patikalaen, Hantakan, dapat menghasilkan padi 800-1.000 gantang. Satu gantang sebanyak lima liter. Padi itu akan disimpan di lulung (wadah terbuat dari kayu kulit damar). Ada banyak lulung di dalam lumbung yang dimiliki setiap keluarga Dayak Meratus. “Bisa tahan 15 tahun,” ujar Ruwai.

Mereka panen padi setahun sekali. Umur padi adalah enam bulan. Mereka membutuhkan waktu 2-3 bulan untuk mengolah lahan, 1-2 bulan menunggu musim tanam, dan 1-3 bulan untuk masa panen. Praktis, mereka membutuhkan 12 bulan untuk mengolah padi.

Akan tetapi, mereka tidak menjual padi. Mereka memiliki stok pangan yang cukup untuk beberapa tahun. “Kami di gunung, jauh dari mana-mana, kalau kami menjual padi, dan terjadi kemarau panjang sehingga kami tidak dapat tanam padi, kami makan apa nanti?” ujar Galimun, tetua adat Dayak Meratus Kecamatan Hantakan.

Duntin dan Paliansyah (Ketua Balai Adat Tamburasak dan Bendahara Balai Adat Tamburasak) menyebut ada 26 jenis padi yang ditanam di Pegunungan Meratus. Tim ekspedisi menemukan dua jenis lagi di desa lain sehingga terhitung sedikitnya ada 28 varietas padi. Benih padi mereka siapkan dari hasil panen, biasanya banih sibuyung dan banih aria. “Dipilih yang terbagus, lalu disimpan di tempat khusus,” ujar Hadri, warga Tamburasak.

Padi dari Langit

Di zaman dahulu, kata Duntin, padi merupakan tanaman langit. Penghuni langit adalah delapan laki-laki bersaudara, penghuni bumi delapan perempuan bersaudara. Padi langit ditanam pagi dan sore dapat dipanen. Buahnya sebesar gantang dengan volume mencapai lima liter. Penghuni langit memerlukan seribu gantang untuk menakarnya dan 10 ribu balihung (bakul) untuk menyimpannya.

Penduduk desa Haratai
Tampak dua penduduk Desa Haratai di pegunungan Meratus sedang membuat balihung. Balihung adalah bakul dari anyaman. Seorang ibu senang hati tersenyum ketika akan difoto. Sedangkan seorang ibu lagi malu-malu ketika akan difoto, sehingga menutupi wajahnya dengan balihung. Masyarakat Dayak Meratus biasa menggunakan balihung dalam berbagai aktivitas keseharian mereka; fungsinya sama seperti tas punggung. (Fitri Utami/Campa Tour)

Mereka kesulitan mengonsumsinya sehingga atas petunjuk Hyang Bawanang (Yang Berwenang, Yang Mahasuci), buah padi itu diasapi dengan dupa selama tujuh hari tujuh malam sehingga memecah menjadi seukuran padi sekarang.

Ketika di bumi terjadi paceklik, umbi susah ditemukan di berbagai penjuru bumi, penghuni bumi meminta padi ke langit. Dara Kebungsuan berhasil membawa padi ke bumi dengan menyembunyikannya di rahimnya selama sembilan bulan sembilan hari. Saat ditanam di bumi, buahnya dari langit terlihat berkilau seperti emas. Akan tetapi, tidak selamanya berkilau karena sudah tidak suci (wanang) lagi. Di langit, padi tetap suci karena selalu ada langgatan yang menggantung di langit.

Untuk menyucikan padi di bumi diadakan upacara aruh bawanang. Langgatan ditancapkan di tanah (disebut lalaya). Kini di upacara aruh di Meratus, ada yang memakai lalaya yang diletakkan di lantai balai adat, ada pula yang memakai langgatan yang digantung di langit-langit balai. Hingga kini untuk menghitung hasil panen padi, masyarakat Dayak Meratus memakai ukuran gantang. Sehektar huma menghasilkan 800-1.000 gantang (4.000 liter-5.000 liter) padi.

Foto Balai Aruh
Upacara aruh biasa diadakan di Balai Adat. Aruh memiliki banyak macam dan nama. Sesajian biasa diletakkan di bangunan tengah-tengah balai adat (tawing), atau dapat juga di pelataran. Tampak peserta Campa Tour sedang berbincang dengan Kepala Adat Malaris. Balai Adat Malaris yang terletak di Desa Loklahung adalah Balai Adat yang terbesar di pegunungan Meratus. (Fitri Utami/Campa Tour)

Jika padi pantang dijual, getah karet, kayu manis, kemiri, atau tambang emaslah sumber keuangan mereka. Sekali-dua kali ditanami padi, huma kemudian menjadi sumber uang setelah ditanami karet atau kayu manis atau kemiri. Harga getah karet pernah mencapai Rp 15.000 per kilogram.

Sumber:

Kopassus. (2012). Ekspedisi Khatulistiwa 2012: Peduli dan Lestarikan Alam Indonesia. Jakarta: Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Tidak diterbitkan.

About Author

client-photo-1
Campa Tour & Event

Comments

Tinggalkan Balasan