[:ID]Pak Dahlan, namanya. Dia adalah nahkoda yang membawa Campa menuju Mulut Seribu, sebuah bagian Pulau Rote yang menyerupai labirin bila kita masuk ke area ini. Bersama para peserta Indonesia Diversity, Campa menyusuri Mulut Seribu dan menikmati keindahannya. Ombak yang cukup kuat di tengah hujan, harus ditantang bodi (kapal) kami, demi mencapai Mulut Seribu pada jadwal yang ditentukan.
Pak Dahlan adalah nahkoda sekaligus pemilik kapal. Sudah lama profesi ini ia tekuni. Berlayar, mencari ikan, bahkan mencapai daratan Australia mengantarkan para imigran sudah pernah ia lakukan! Melihat sosoknya, tak diragukan lagi, ia berani menantang gelombang dan bertanggung jawab atas seluruh penumpang di bodi-nya. Pak Dahlan juga memiliki peran penting di komunitasnya, ia berperan sebagai Ketua RW 08 di Desa Papela, Kelurahan Londa Lose. Di daerah, seseorang bisa dipilih menjadi pemimpin komunitas, pasti dikarenakan ia dipercaya dan bisa diandalkan oleh masyarakatnya.
Hal yang menarik ketika melakukan sebuah perjalanan, bukan hanya menikmati sebuah destinasi. Tetapi kita juga bisa mendengar cerita menarik dari mereka. Orang-orang yang terlibat di dalamnya. Selama di perjalanan, Pak Dahlan banyak bercerita mengenai perjalanannya sebagai pelaut.
Saat bodi tiba memasuki “gerbang” Mulut Seribu, bodi berhenti sejenak. Pak Dahlan memberikan kesempatan bagi penumpangnya untuk terpana. Terpukau menikmati keindahan pulau-pulau yang terpampang di depan kami. Perpaduan antara langit, hijaunya pulau, pasir putih, rumah-rumah sunyi di pinggir pantai, benar-benar menyihir mata yang melihatnya. Di tengah euforia dan puji-puji menikmati keindahan yang terbentang, tiba-tiba Pak Dahlan mengeluarkan kalimat yang menarik:
Buat apa kita ke luar negeri.
Sedangkan di negeri kita saja sudah begini cantik.
Buang-buang anggaran saja!
Quotes terbaik yang pernah didengar selama perjalanan dan kontan membuat peserta tertawa. Benar juga ya! Negeri kami begini indah, kenapa harus ke luar negeri?
Pak Dahlan berkata, “Mereka (orang Australia) sangat bangga sama kita. Kok beragam-ragam orang, kok bisa bersatu? Kita ini terdiri dari berbagai macam pulau, kok bisa satu bahasa.” Ya. Pak Dahlan berkata seperti itu karena ia sudah tidak asing lagi dengan daratan Australia dan penduduknya. Pulau Rote, pulau terselatan Indonesia, memang berbatasan dengan negara Australia. Ia biasa berlayar hingga Australia. Bahasa Inggris, bukan bahasa baru bagi Pak Dahlan. Jadi tentunya ia terbiasa bercakap-cakap dengan penduduk setempat.
[wc_row][wc_column size=”one-half” position=”first”]
[/wc_column][wc_column size=”one-half” position=”last”]
[/wc_column][/wc_row]
Sebuah sisi Pulau Usu. Terletak dekat dengan “gerbang” Mulut Seribu. Perkampungan ini hanya dihuni pada hari Senin sampai Sabtu oleh pemiliknya.
Karena di tempat ini mereka membudidayakan rumput laut. Rumah mereka yang sebenarnya terdapat di sisi lain Pulau Usu. (Fitri Utami Ningrum/Campa Tour)
Untuk menikmati keindahan dan bercengkrama dengan penduduk setempat, ia mengizinkan untuk menambat kapal di pinggiran Pulau Usu. Para peserta akan bersorak kegirangan, dan ia pun berceloteh, “Tanah siapa ini? Kok keren banget! Tanah kita.” Lalu ia pun mengulang celotehnya dalam bahasa Rote yang khas, “Sapa pung tana ni? Ko bagus sekali ni. Kotong pung tana!”
Pak Dahlan pertama kali ke Australia tahun 1982 menggunakan perahu layar. Jarak dari Rote ke Australia 428 mil. Ia juga bercerita waktu pertama kali menjumpai Pulau Pasir di tengah lautan. Dari Pulau Pasir ke Australia jaraknya 387 mil. Pulau Pasir akan terlihat, hanya hamparan pasir saja, kalau permukaan laut surut. Kemudian akan hilang dari permukaan ketika permukaan air laut naik. Boleh cari ikan dekat area itu, tapi harus pakai perahu layar tradisional. Kini, Pulau Pasir sudah di klaim menjadi bagian Australia.
Pak Dahlan pernah di penjara selama empat tahun di Australia (2009-2013). Ia dipenjara karena membantu membawa imigran ke Australia. Apa tuntutan ekonomi yang menjadi alasannya? Ia menjawab ringan, “Saya bersyukur saya bisa menolong orang lain.”
Menurut Pak Dahlan, di Papela (desa tempatnya tinggal) perputaran keuangan bagus. Tapi untuk mendapatkan uang sulit. Ia bisa pastikan, hampir 99% orang Papela pernah ke Australia. Tapi kami tetap kembali ke sini, “Tanah ini… bagaikan kuku dan daging dengan kita, masalah rezeki itu, Tuhan sudah atur. Yang penting kita harus kerja, tanggung jawab.”
Dalam lautan senja, kami menatap ke depan, “Sapa pung tana ni? Kotong pung tana… Indonesia.”
[wc_row][wc_column size=”one-half” position=”first”]
[/wc_column][wc_column size=”one-half” position=”last”]
[/wc_column][/wc_row]
Suasana senja di Mulut Seribu. Keberangkatan kapal yang tertunda karena hujan, terbayarkan dengan menikmati indahnya matahari terbenam di Mulut Seribu.
“Saya harus pastikan semua aman dan selamat. Ini adalah tanggung jawab yang selalu saya pegang,” ujar Pak Dahlan Sang Nahkoda. (Fitri Utami Ningrum/Campa Tour)[:]
Comments