[:ID]Saga, Kampung Tradisi Lio di Kaki Kelimutu
Kawah Kelimutu yang memiliki tiga kawah berbeda dan ajaib bisa berubah-ubah warnanya adalah pesona terbaik dari Pulau Flores, salah satu pulau utama di Nusa Tenggara Timur. Tapi, tahukah Anda? Kawah Kelimutu sesungguhnya menjadi tempat sakral bagi masyarakat Suku Lio, suku asli di wilayah Ende. Perjalanan saya mengagumi keajaiban Kawah Kelimutu pun harus disempurnakan dengan berkunjung ke Kampung Saga. Rupa tradisi luhur dari Suku Lio yang sudah berjalan berabad-abad bisa dijumpai masih secara asli di Kampung Saga.
Terletak di tepian Taman Nasional Kelimutu, di kawasan lereng selatan Gunung Kelimutu, Kampung Saga menawarkan pesona budaya yang mengharmoni dengan lestarinya alam raya. Kampung Saga menghampar manis di lereng perbukitan yang dikelilingi oleh rimbunnya hutan dan ladang kopra warga. Ada perasaan bahagia saat melihat rumah-rumah warga yang masih kental nuansa etnisnya terletak dengan menyesuaikan kontur perbukitan. Ada perasaan gembira saat keramahan warganya mudah didapatkan sejak pertama kali memasuki Kampung Saga.
Berkunjung ke Kampung Saga untuk bisa mendapatkan pengalaman sempurna paling bagus adalah didampingi Pak Maxi Muswolo (45). Pria ramah ini adalah penggerak Kampung Saga agar bisa dinikmati secara wisata kepada khalayak luas yang ingin belajar tradisi Suku Lio. Perjalanan menelusuri keindahan Saga, saya pun dikawani Pak Maxi yang juga merupakan putra dari Mausalaki atau Kepala Suku di Kampung Saga. Pengetahuannya yang luas tentang Kampung Saga dan pariwisata budaya bisa memikat setiap tamu dari manapun seakan-akan bisa terlempar pada suasana karismatik sebuah negeri yang anggun secara alam dan budaya.
Wajah Kampung Saga
Kampung Saga belum banyak dikenal dalam jangkauan radar wisata Overland Flores. Saga ibaratnya sebagai sosok perawan cantik yang baru mulai membukakan diri untuk diketahui dan dikunjungi kepada siapapun para pemburu keindahan. Secara administratif, Kampung Saga terletak di Kecamatan Roa, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. Tiga puluh kilometer melintasi Jalan Trans Flores dari Kelimutu ke arah kota Ende, kita akan menjumpai pertigaan menuju Kampung Saga. Untunglah jalanan yang sempit nan curam ini sudah diaspal sehingga ke Kampung Saga tidaklah sesulit dibayangkan.
Kedatangan di Kampung Saga akan disambut gapura sederhana bertuliskan “Welcome to Saga Village”. Sejak itulah perjalanan menelusuri kampung dimulai, yang dihadapkan pada rumah-rumah “Sao”, rumah khas Suku Lio. Bagi orang Saga, Sao lebih dikenal sebagai Rangga Wawo. Sepintas Sao mirip dengan arsitektur joglo, tapi jika diamati lebih cermat, jelas sangat jauh beda. Lebih ramping. Sao ini berdiri sebagai rumah panggung yang menyesuaikan kondisi alam Flores yang berbukit dan aktif gempa. Bangunan masih orisinil terbuat dari kayu. Atapnya ditutup oleh alang-alang.
Menuju semakin ke dalam Kampung Saga, artinya kita akan diajak semakin naik mendaki tangga-tangga bebatuan. Semakin penting bangunan akan diletakkan pada posisi makin atas. Struktur Kampung Saga dibangun bertingkat-tingkat menyesuaikan dengan kondisi lahan yang berada di lereng bukit. Pada setiap tingkat ini akan ada beberapa Sao yang masih ditinggali masyarakat. Biasanya di depan dan samping Sao akan terdapat Rateh.
Rateh merupakan kuburan leluhur yang tersusun dari batu dan menempatkan jenazah pada posisi duduk. Dulunya setiap orang Lio akan dikubur dalam Rateh. Sejak penerimaan Agama Katolik di Suku Lio, kubur Rateh tidak digunakan lagi. Makanya tak mengherankan, di samping Rateh terdapat kubur bernisan salib. Orang Saga bisa mengharmoniskan antara tradisi leluhur dengan agama Katolik. Namun, ada yang beda saat saya menjumpai makam Kaki Nggali. Sosok ini istimewa bagi masyarakat Saga karena panglima perang yang mempertahankan Saga dari serbuan musuh. Makam Kaki Nggali berupa bangunan kayu bertiang satu yang menyangga kotak kayu beratap kayu.
Setelah cukup melelahkkan tapi menyenangkan mendaki tingkatan, akhirnya kita sampai di tingkat tertinggi. Di tingkatan ini terdapat Sao milik Dala Wolo. Dia adalah leluhur pendiri Kampung Saga. Ada juga makam dari dua anjing kesayangan peliharaan Dala Wolo yang sangat sakral dimana hanya boleh dimasuki oleh Mausalaki dari Kampung Saga. Di tingkatan ini, panorama yang terpandang akan sangat mengagumkan.
Lanskap Taman Nasional Kelimutu yang rimbun dikerumuni hutan hijau akan terlihat manis. Tumbuhan kelapa di lembah menjadi pesona menyejukkan mata. Kampung Saga yang ditaburi rumah Sao menjadi suguhan yang paling sedap dalam balutan budaya. Di kejauhan, gemerujug Air Terjun Muru Wena setinggi 50 meter terlihat begitu anggun merayapi tebing dikelilingi pepohonan tinggi. Dari Kampung Saga, Air Terjun Muru Wena bisa kita dekati dalam perjalanan jalan kaki satu jam. Namun, menyaksikan dari puncak Kampung Saga saja, air terjun ini sudah bisa memikat kepada siapapun yang melihatnya.
Hikayat Anjing Dala Wolo
Tidak perlu buru-buru untuk turun karena biasanya saat di puncak Kampung Saga Pak Maxi akan berkisah tentang Anjing Dala Wolo. Alkisah, ada sepasang anjing milik Dala Wolo. Suatu waktu mereka kawin dan mengandung. Tapi, tak lazimnya anjing biasa, anjing itu mengandung lama, sampai sembilan bulan.
Akhirnya di kolong Sao Dala Wolo, anjing itu melahirkan. Ajaib, yang terlahir seorang bayi perempuan! Anak ini lalu tumbuh besar menjadi gadis cantik. Hingga suatu waktu, terjadilah serangan dari penjajah VOC Belanda ke Kampung Saga dimana gadis itu dibawa pergi. Tak semata direbut cuma-cuma, anak gadis itu dibarter dengan emas atau londa yang begitu banyak.
Suatu hari, VOC berencana ingin membawa gadis Kampung Saga ini ke Belanda melalui Pelabuhan Ende. Akan tetapi, kapal yang membawanya tidak bisa berangkat meski sudah dilakukan upaya sekeras tenaga. Anjing, si “orang tua” gadis itu menyalak terus menerus karena tidak rela. Akhirnya, dipanggillah anjing itu untuk merelakan kepergian gadis itu. Setelah diikhlaskan, kapal Belanda bisa berangkat dengan lancar. Sayangnya, sesampai di Pantai Gading, Afrika Barat, tersiar kabar bahwa gadis itu meninggal dunia.
Sampai kini, keturunan Dala Wolo sangat menghormati anjing. Mereka tidak bisa makan daging anjing. Bahkan jika terkena cipratan darah anjing atau malahan menginjak bekas darah anjing sekalipun, kulit mereka bisa luka. “Silakan boleh percaya atau tidak percaya, tapi itu benar terjadi,” jelas Maksi yang mana istrinya merupakan keturunan Dala Wolo. Namun, orang-orang yang bukan keturunan tidak masalah jika memakan daging anjing. Hanya saja, toleransi tetap harus dilakukan. Tidak ada upacara adat di Kampung Saga yang melakukan pengorbanan yang menyakiti anjing.
Perempuan Dilarang Masuk!
Puas bercengkerama dengan panorama tingkat teratas Kampung Saga, kini kita bisa turun menuju ke area rumah yang diperuntukkan bagi Mausalaki. Di Kampung Saga, terdapat dua kelompok besar yang yang telah hidup harmonis, yakni kelompok Wolo dan Limbu. Masing-masing memiliki mausalaki atau kepala suku-nya.
Di depan Rangga Wawo Mausalaki Pu’u Wolo terdapat sebuah bangunan yang disebut Kedah. Bangunan ini sangat disakralkan dimana kaum perempuan dilarang untuk masuk ke dalamnya. Ini adalah daerah pamali keras. Bahkan kami tidak diizinkan memotret meskipun masih diizinkan masuk ke dalamnya.
“Memperlihatkan foto seisi Kedah kepada perempuan sama saja dengan membolehkan perempuan masuk ke dalamnya.” ungkap Pak Maxi. Alasan utama dilarangnya perempuan masuk ke Kedah adalah karena bisa menyebabkan perempuan tersebut mandul. Barangkali kita terkejut mendengar alasan itu. Tapi, sebagai tradisi yang harus dijunjung tinggi, kita perlu berpikir positif pasti ada makna dari kebijaksanaan ini.
Di dalam Kedah terdapat patung Annadeo. Patung ini magis bagi orang Saga karena terkait dengan keberanian pria – inilah yang jadi alasan utama perempuan dilarang masuk Kedah. Patung Annadeo terdiri dari Patung Lelaki Saga dan kedua anaknya, yakni Guru dan Kara. Di dalam Kedah juga terdapat gambar hewan-hewan yang penting bagi orang Saga. Ornamen kadal, babi, sapi menghiasi beberapa sudut di Kedah. Ada juga ornamen tujuh orang saling bergandengan yang bermakna hubungan persaudaraan di Kampung Saga itu harus selalu terjalin erat. Hubungan itu menyangkut Lelaki Saga, Guru, Kara, Dala Wolo, serta Mausalaki dari Suku Wolo dan Limbu.
Setiap terjadi permasalahan penting di Saga akan dibahas di dalam Kedah. Mausalaki dan para tetua dari kedua suku: Wolo dan Limbu berkumpul untuk bermusyawarah. Salah satu hal penting yang dibahas adalah penentuan waktu tanam dan panen di Kampung Saga. Jika telah tiba waktunya, akan dipersiapkan upacara Gawi agar diberikan kelancaran dalam upaya panen di Kampung Saga.
Ada baiknya kita datang saat Upacara Gawi. Di situlah segala tradisi budaya berupa tari-tarian, makanan tradisional dan seluruh warga Saga akan berkumpul dan dipentaskan. Kampung Saga yang sunyi di pelosok Kabupaten Ende pun akan jadi meriah dengan pentas seni budaya khas Orang Lio.
Author : Iqbal Kausar
[:]
Comments