Suatu ketika, saya membaca sebuah buku yang ditulis oleh Cornelis Kowaas. Judulnya Dewa Ruci: Pelayaran Pertama Menaklukkan Tujuh Samudra. Dalam salah satu bagian, diceritakan tentang kejayaan Banda, Maluku. Menarik. Saat membaca buku ini, saya baru tahu, ternyata pada zamannya, Banda pernah diperebutkan oleh Belanda dan Inggris. Bahkan “pesonanya” menandingi New York, yang kala itu disebut New Amsterdam.
KETIKA PULAU BANDA LEBIH BERHARGA DARIPADA NEW YORK
PERCAYA atau tidak, rempah-rempah (pala, cengkeh, merica) adalah salah satu faktor utama yang mendorong percepatan perubahan wajah dunia. Dari catatan sejarah kuno, rempah-rempah telah dibawa dan digunakan hingga ke Timur Tengah lebih dari 4.000 tahun yang lalu melalui jalur laut dan darat dari Indonesia ke India dan China, terus sampai ke Timur Tengah melalui jalan sutra atau silk road yang tersohor itu menembus gunung dan padang pasir.
Para ahli menyatakan bahwa pada tahun 2600 sebelum Masehi, bangsa Mesir memberikan rempah-rempah tertentu dari Asia kepada para pekerja bangunan piramida agar mereka memiliki kekuatan ekstra. Dari bukti arkeologis ditemukan bahwa bangsa Mesopotamia, atau Siria sekarang, telah menggunakan rempah-rempah yang berasal dari Maluku itu untuk keperluan rumah tangganya pada waktu yang bersamaan. Konon, urusan rempah-rempah juga yang membuat bangsa Aria yang berkebudayaan tinggi hijrah ke India.
Bangsa-bangsa Eropa, yang harus membayar sangat mahal untuk mendapatkan rempah-rempah yang telah lama dikuasai pedagang Arab, berusaha keras untuk mencari sumbernya, yang konon berada di sebuah pulau keramat tempat burung-burung (bird of paradise) yang sangat indah beterbangan di angkasa dan tidak pernah mendarat di bumi kecuali saat dia mati. Hal itu kemudian menimbulkan keinginan dan akhirnya menjadi obsesi untuk mencari sumber rempah-rempah.
Catatan perjalanan Marco Polo ke China dan Asia Tenggara membuka mata orang Eropa. Hal itu pula yang mendorong pelayaran Columbus ke Amerika dan membuatnya menamai penduduk asli berkulit gelap yang ditemuinya di benua baru itu “Indian” dan buah suci merah pedas di sana dengan nama red pepper atau “merica” merah. Columbus mengira dia telah sampai di India.
Ketika pada akhirnya bangsa Portugis menemukan Maluku dan Banda pada tahun 1512, tempat ini menjadi daerah yang diperebutkan. Menurut Charles Corn (1998) dalam bukunya The Secret of Eden, hal tersebut yang mendorong para penjelajah agung berlayar ke segala arah untuk menemukan jalan terdekat menuju Indonesia, seperti Magellan ke barat, Barrentz ke utara, dan entah berapa lagi penjelajah yang kemudian tersasar dan hilang tak pernah kembali.
Ya, rempah-rempah pada waktu itu merupakan komoditas yang bahkan bisa lebih mahal daripada emas. Sebagai perbandingan, mungkin Kepulauan Banda dan Maluku dahulu seperti Arab sekarang dengan kekayaan minyak buminya. Untuk itu, bangsa-bangsa Eropa rela bertempur sampai mati untuk menguasainya.
Ketika VOC akhirnya menguasai Kepulauan Banda dan Maluku pada abad ke-17, mereka berusaha mempertahankan hegemoninya di sana. Pada saat yang bersamaan, Inggris – yang juga membuat perusahaan pesaing VOC dengan nama East Indies Company (EIC) – menduduki Pulau Run dan Ai dalam gugusan Kepulauan Banda. Hal itu sangat mengganggu VOC. Mereka tidak ingin ada orang lain yang dapat mengakses rempah-rempah Nusantara.
Belanda, di bawah J.P. Coen, bahkan pernah membakar semua pohon pala di Pulau Run seperti dikatakan Weir (2005) dalam buku History’s Worst Decisions: And the People who Made Them. Pada saat yang sama di belahan bumi lain, Belanda dan Inggris juga berseteru ketika Inggris mencaplok New Amsterdam – nama Belanda bagi Pulau Manhattan – pada tahun 1664.
Setelah berseteru cukup lama, Belanda dan Inggris akhirnya menemukan jalan keluar bagi persaingan di Kepulauan Banda ketika pada tahun 1667, dalam perjanjian Breda, ditetapkan bahwa Inggris mendapatkan New Amsterdam dan Belanda menjadi pemilik Kepulauan Banda. Sebenarnya, Inggris masih tidak puas dengan perolehan tersebut dan mencoba meminta tempat lainnya (sebuah daerah penghasil gula di Amerika Selatan).
Namun, Belanda menolak. Inggris pun dengan berat hati terpaksa menerima New Amsterdam dan mengubah namanya menjadi New York. Siapa bisa menyangka bahwa New York justru kini menjadi kota megapolitan terbesar di dunia.
Banda, memiliki ceritanya sendiri. Banda, dulu sangat memikat. Hingga kini juga tetap memikat. Terlepas dari perkembangan zaman dan perubahan zaman, saya yakin, Banda akan tetap memiliki tempat di hati mereka yang ingin mengenalnya.
Comments