Balihung Tanda Persahabatan

(Fitri Utami/Campa Tour)
(Fitri Utami/Campa Tour)

Dalam suat kunjungan ke Dusun Kapayang tempat bermukim Dayak Meratus, ada seorang Ibu yang begitu bersahabat menerima kami. Ia baru saja turun dari hutan, menggendong balihung di punggung, berisikan pecahan pohon kayu manis.

Balihung Tanda Persahabatan_1

Peserta kami, Mustaqim, penasaran seperti apa rasanya menggendong balihung. Si Ibu dengan baik hati mempersilakan Mustaqim untuk mencoba. Setelah mengisi balihung dengan kulit kayu manis yang sudah direndam seharian, si Ibu menyerahkan balihung untuk dipakai oleh Mustaqim.
Menaiki undakan satu demi satu. Terus berjalan menuju dusun atas, karena rumah si Ibu terletak di atas, persis tepi atas sisi sungai. Setelah berat menahan titik beban di kepala dan pundak, akhirnya sampai juga di depan rumah. “Bagaimana rasanya?” saya bertanya. Lepas menghela nafas dan mengumpulkan tenaga Taqim menjawab, “Ternyata, berat…” Kami pun hanya meringis.

Balihung Tanda Persahabatan_2

Seusai bersih diri sehabis turun dari hutan, si Ibu pun melanjutkan aktivitasnya, mengumpulkan hasil kulit kayu manis. Sementara Taqim berinteraksi dengan penduduk setempat, saya memperhatikan si Ibu. Karena penasaran, saya bertanya, “Bu…apa boleh saya masuk ke dalam rumah..? Saya ingin tahu rumah penduduk Kapayang seperti apa..” Si Ibu menjawab senang, “Pasti boleh!” Dengan senang hati saya masuk ke dalam rumahnya. Di antara rumah penduduk yang lain, saya rasa ini termasuk rumah yang cukup luas. Ada satu ruang utama dan satu kamar. Sisanya adalah dapur dan tempat mencuci perabotan. Di atas lemari dapur terdapat banyak balihung. Penduduk asli Dayak Meratus memang sudah terbiasa membuat sendiri balihung mereka. Yang menarik adalah bagian paling akhir dari rumah. Di sisi samping dan belakang, terdapat jendela besar. Ketika saya membukanya, langsung terpapar pemandangan sungai di depan bawah rumah. Suara gemericik air sungai yang berbenturan dengan batu pun terdengar jelas.
Saya tersenyum ke arah sang Ibu. “Senang sekali Bu, punya rumah seperti ini. Auranya segar,” ucap saya sekaligus berterima kasih karena sudah diperbolehkan masuk meneliti rumahnya. Si Ibu tersenyum senang. Lalu tiba-tiba ia menyodorkan sesuatu. Balihung. “Ini balihung. Bawa ya…” Tanpa banyak kata, tapi berusaha meminta saya untuk membawanya. “Saya senang, akhirnya kesampaian juga lihat orang Jakarta, datang kesini.” Saya hanya tertegun, agak bingung. “Bukannya justru saya ya..yang justru senang, akhirnya bisa bertemu penduduk asli Dayak…”

Si Ibu menawarkan rombongan kami untuk bermalam di rumahnya, tapi saya katakan kalau kami sudah dijamu menginap di rumah Julak Kepala Dusun.
Balihung dari sang Ibu masih tersimpan dengan baik di tempat kami. Dan selalu menjadi display favorit kami ketika Campa Tour mengadakan pameran. Mungkin balihung ini bukan yang baru. Karena nyatanya, balihung ini sudah lama digunakan si Ibu untuk mencuci beras, makanan utama di rumahnya. Warnanya pun sudah pudar bercampur coklat karena usia pemakaian. Tapi malah menjadi unik karena terkesan vintage. Tapi saya selalu tersenyum tenang ketika memandang balihung ini. Karena balihung ini tanda persahabatan. Persahabatan akan sesuatu yang belum kita kenal, padahal merupakan bagian dari diri kita, Indonesia.
Saya rasa Mustaqim juga merasakan hal yang sama. Perjalanannya dalam rangka memetakan keberagaman Indonesia bersama Indonesia Diversity, pasti menjadi kenangan tersendiri.

About Author

client-photo-1
Campa Tour & Event

Comments

Tinggalkan Balasan