[:en]Pulau Rote
Kepulauan Rote, juga disebut Pulau Roti, adalah sebuah pulau di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Rote merupakan wilayah paling selatan Indonesia. Pulau ini terkenal dengan kekhasan budidaya lontar, wisata alam pantai, musik sasandu, dan topi adat Ti’I Langga. Rote beserta pulau-pulau kecil disekitarnya berstatus sebagai kabupaten dengan nama Kabupaten Rote Ndao.
Kepulauan Rote terdiri atas 96 pulau, 6 di antaranya berpenghuni. Wilayah ini beriklim kering yang dipengaruhi angin muson dan musim hujan relatif pendek (3-4 bulan). Bagian utara dan selatan berupa pantai dengan dataran rendah, sementara bagian tengah merupakan lembah dan perbukitan. Pulau ini dapat dikelilingi dalam jangka waktu yang relatif singkat.
Rote dan Sasandu
Bagi sebagian orang di Rote, sasandu gong adalah alat musik tradisional yang ketinggalan zaman. Bahannya dari daun lontar dan bambu serta hanya punya lima nada pentatonis sehingga tak cocok untuk memainkan lagu masa kini. Sasandu gong memang cocok digunakan untuk memainkan lagu Rote, tembang daerah yang syairnya sarat nasehat dan kearifan. Perlahan-lahan, generasi muda yang mestinya menjadi pewaris budaya Rote, mulai meninggalkan sasandu gong untuk alat musik yang lebih modern.
Di sebuah pesta pernikahan, Esau Nalle duduk memeluk sasandu gong, alat musik tradisional Rote, Nusa Tenggara Timur. Matanya menatap kerumunan tamu pesta yang riuh berdansa pada musik yang bingar. Syair Rote yang dilantunkannya dengan petikan sasandu gong mengantar pengantin ke pelaminan, sudah terlupakan. Merdu suara dan khidmat pesan dalam syairnya kalah silau dengan dentuman pengeras suara dan muda-mudi yang berjoget. Sedih hatinya menyaksikan sasandu gong dan syair Rote semakin tergantikan, tersisihkan oleh musik modern yang membahana.
Lelaki paruh baya itu adalah satu di antara sedikit seniman sasandu gong Rote yang masih bertahan. Dilarang sang ayah untuk memetik sasandu gong karena mitos mati muda, Esau Nalle justru bertumbuh mencintai sasandu gong. Bagi Esau Nalle, sasandu gong bukanlah sekadar alat musik. Sasandu gong adalah gambaran hidup, potret sejarah, dan penyampai pesan. Tak rela alat musik sarat cerita dan sejarah ini tergerus zaman, Esau Nalle mengajak anak-anak muda untuk terus melestarikan sasandu gong. Belajar memainkannya, menikmati alunan suaranya dengan syair Rote yang selalu sarat makna, sakral, dan agung. Di sanggar miliknya, Esau Nalle mewariskan kecintaannya pada sasandu gong. Detamanu, yang berarti induk ayam yang melindungi anak-anaknya dalam bahasa Rote, dipilihnya sebagai nama. Esau Nalle ingin usahanya laksana induk, induk yang melindungi anak-anak muda Rote dengan kecintaan budaya, melindungi budaya Rote yang sepenuh hati dimaknainya dengan terus bermain sasandu gong.
Sumber: Memetik Sasandu di Nusa Lontar. Eagle Award Winner 2015. Wisnu Dwi Prasetyo dan Ryan Rinaldy
[:ID]Pulau Rote
Kepulauan Rote, juga disebut Pulau Roti, adalah sebuah pulau di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Rote merupakan wilayah paling selatan Indonesia. Pulau ini terkenal dengan kekhasan budidaya lontar, wisata alam pantai, musik sasandu, dan topi adat Ti’I Langga. Rote beserta pulau-pulau kecil disekitarnya berstatus sebagai kabupaten dengan nama Kabupaten Rote Ndao.
Kepulauan Rote terdiri atas 96 pulau, 6 di antaranya berpenghuni. Wilayah ini beriklim kering yang dipengaruhi angin muson dan musim hujan relatif pendek (3-4 bulan). Bagian utara dan selatan berupa pantai dengan dataran rendah, sementara bagian tengah merupakan lembah dan perbukitan. Pulau ini dapat dikelilingi dalam jangka waktu yang relatif singkat.
Rote dan Sasandu
Bagi sebagian orang di Rote, sasandu gong adalah alat musik tradisional yang ketinggalan zaman. Bahannya dari daun lontar dan bambu serta hanya punya lima nada pentatonis sehingga tak cocok untuk memainkan lagu masa kini. Sasandu gong memang cocok digunakan untuk memainkan lagu Rote, tembang daerah yang syairnya sarat nasehat dan kearifan. Perlahan-lahan, generasi muda yang mestinya menjadi pewaris budaya Rote, mulai meninggalkan sasandu gong untuk alat musik yang lebih modern.
Di sebuah pesta pernikahan, Esau Nalle duduk memeluk sasandu gong, alat musik tradisional Rote, Nusa Tenggara Timur. Matanya menatap kerumunan tamu pesta yang riuh berdansa pada musik yang bingar. Syair Rote yang dilantunkannya dengan petikan sasandu gong mengantar pengantin ke pelaminan, sudah terlupakan. Merdu suara dan khidmat pesan dalam syairnya kalah silau dengan dentuman pengeras suara dan muda-mudi yang berjoget. Sedih hatinya menyaksikan sasandu gong dan syair Rote semakin tergantikan, tersisihkan oleh musik modern yang membahana.
Lelaki paruh baya itu adalah satu di antara sedikit seniman sasandu gong Rote yang masih bertahan. Dilarang sang ayah untuk memetik sasandu gong karena mitos mati muda, Esau Nalle justru bertumbuh mencintai sasandu gong. Bagi Esau Nalle, sasandu gong bukanlah sekadar alat musik. Sasandu gong adalah gambaran hidup, potret sejarah, dan penyampai pesan. Tak rela alat musik sarat cerita dan sejarah ini tergerus zaman, Esau Nalle mengajak anak-anak muda untuk terus melestarikan sasandu gong. Belajar memainkannya, menikmati alunan suaranya dengan syair Rote yang selalu sarat makna, sakral, dan agung. Di sanggar miliknya, Esau Nalle mewariskan kecintaannya pada sasandu gong. Detamanu, yang berarti induk ayam yang melindungi anak-anaknya dalam bahasa Rote, dipilihnya sebagai nama. Esau Nalle ingin usahanya laksana induk, induk yang melindungi anak-anak muda Rote dengan kecintaan budaya, melindungi budaya Rote yang sepenuh hati dimaknainya dengan terus bermain sasandu gong.
Sumber: Memetik Sasandu di Nusa Lontar. Eagle Award Winner 2015. Wisnu Dwi Prasetyo dan Ryan Rinaldy
[:]
Comments